Monday, January 21, 2008

Radio

“Pagi, Cindy”, sahut seorang wanita separuh baya begitu melihat mata anak gadisnya terbuka untuk pertama kalinya hari ini.

“Ah Ibu, Cindy kan masih ngantuk”, sahut gadis kecil itu. “Lagian kan ini hari minggu, bu”, sahutnya sambil berusaha menarik selimutnya kembali.

“Hei bangun Cindy, meskipun hari ini hari minggu, kamu harus bangun pagi. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bermalas-malasan”

“Ah Ibu”

“Tuh radiomu sudah menunggu untuk dinyalakan”

Begitu mendengar kata radio, Cindy langsung bangkit dari tidurnya. Dia menguap dan menggeliat hingga puas sebelum akhirnya mencuci muka di kamar mandi. Ibunya hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku gadis kecilnya itu. Radio, ya radio. Sudah seminggu ini, Cindy mempunyai hobi baru setiap pagi, yaitu mendengarkan radio. Setiap akan berangkat sekolah sambil sarapan pagi, dia selalu menyalakan radio. Empat hari yang lalu dia sangat gembira karena ayahnya membelikannya sebuah radio mungil yang bisa dibawanya ke mana-mana.

Entahlah apa yang membuat Cindy tiba-tiba kecanduan mendengarkan radio padahal kalau dipikir-pikir lebih enak mendengarkan musik di telelvisi. Kita tidak hanya bisa mendengarkan musiknya tetapi kita bisa melihat ekspresi sang penyanyi dan pesan yang dibawa oleh lagu itu melalui video klip. Pernah suatu ketika Ibu menanyakan hal itu kepada Cindy dan ternyata jawaban Cindy sangat sederhana.

“Ya buat ndengerin musik, Bu. Rasanya kurang afdol kalau sarapan tanpa mendengarkan musik”

ya seperti pagi ini begitu selesai cuci muka, Cindy langsung mengambil radio mungilnya dan dinyalakan keras-keras di ruang tamu. Dia tidak sendirian di ruang tamu itu. Ada ayahnya yang sedang duduk sambil membaca koran dan menikmati segelas teh hangat. Hal ini jelas membuat ayahnya meras terganggu.

“Cindy, kecilin dong volumenya. Ayah nggak bisa konsentrasi nih”

“Ah ayah nggak asyik. Ayah dengerin lagu ini. Ini lagu ngetop Yah. Lagunya si Avril yang terbaru”

“Emang siapa tuh si Avril, temannya si Ali”

“Waduh ayah nggak gaul nih, Avril itu penyanyi barat yang kondang. Gayanya funky abis deh. Cindy pingin banget niru dia”

“Udahlah terserah, mau Avril, mau Ali atau mau penyanyi barat kek, penyanyi utara kek, atau penyanyi timur, Ayah gak peduli. Yang penting sekarang, kecilin radiomu, Ayah nggak bisa baca koran”

“Ah ayah nggak asyik nih. Cindy pindah tempat aja”, ujar Cindy sambil ngeloyor pergi dari ruang tamu. Dia pergi ke teras belakang karena saat itu tidak ada seorang pun yang berada disana.

Sesampainya di teras belakang dia langsung duduk dibawah pohon jambu dan mulai menyalakan lagi radionya. Tetapi lagu Avril yang diputar tadi sudah selesai dan sekarang yang keluar dari mulut si speakernya radio adalah suara penyiar radio yang sedang cuap-cuap.

“Oke boys and girls, baru saja kalian dengarkan lagu terbaru dari si Avril Lavigne dengan Don’t Tell Me. Jangan ceritakan kepadaku. Tetapi pagi ini tidak semua pendengar akan meniru apa yang dilakukan oleh si Avril karena akan ada beberapa orang pendengar yang akan bercerita tentang rahasianya kepada kami dan kalian semua, boys and girls”, ujar seorang penyiar cowok.

“Betul apa yang dikatakan oleh Gito tadi boys and girls, pagi ini para generasi muda semua akan mendengar sebuah kisah dari beberapa orang. Dan topik yang akan kita bicarakan pagi ini adalah pengakuan”, sahut seorang penyiar yang cewek.

“Pengakuan seperti apa, Rasti. Apakah seperti yang kamu lakukan kemarin malam, mengaku kalau nyuri ayam di kampung”

“Ah enak aja kamu Git, aku bukan maling ayam tahu. Pengakuan yang kumaksud adalah pengakuan cinta. Ce ileeeee”

“Benar boys and girls semuanya, pengakuan cinta. Bagi yang punya gebetan atau inceran tetapi nggak berani untuk mengakui hal itu langsung kepada doi, kalian bisa mengaku di radio ini. Bagi yang minder, malu atu nggak bisa mengungkapkan langsung, acara ini adalah acara yang tepat untuk kalian. Siapa tahu gebetan yang kalian incar sedang ndengerin radio ini, nah dengan cara ini gebetan kalian akan tahu isi hati kalian yang sebenarnya”

“Dan kalau sudah jadian jangan sungkan-sungkan ajak kami makan bersama, ya”

Cindy tertawa mendengar cuap-cuap dua orang penyiar itu. Gito dan Rasti, mereka berdua adalah penyiar radio favorit Cindy. Mereka berdua sangat kompak dalam mengawal sebuah acara. Dan yang pasti mereka berdua sangat lucu dan konyol.

“Oke kalau yang ingin cerita kami telah buka line teleponnya. Nomor teleponnya, yah seperti biasa, kalau belum tahu telepon aja ke radio ini, entar pasti diberitahu nomor teleponnya”

“Ah kamu memang idiot, Git. Kalau belum tahu bagaimana bisa menelpon ke sini”

“Terima kasih atas pujiannya, Rasti”

Kembali Cindy tidak bisa menahan gelaknya. Tiba-tiba terdengar dering telepon dari radio itu.

“Oh ternyata sudah ada penelpon pertama”, ujar Gito.

Dan mengalirlah sebuah cerita dari seorang cowok. Cowok yang bernama Rudi itu mengakui bahwa dia lagi jatuh cinta pada seorang cewek bernama Rista. Cewek ini adalah temannya satu kelas di sekolahannya. Anaknya cantik, periang dan baik pada semua orang. Selain itu dia juga pandai dan aktif dalam organisasi. Rudi takut mengakui langsung perasaannya kepada Rista karena dia minder pada gebetannya itu.

“Kalau aku beda sama Rista. Aku ini cowok yang kacau deh, gak pinter, gak ganteng gak gaul lagi”, ujarnya.

Selain itu Rudi juga minder pada cowok-cowok lain yang juga jatuh hati pada Rista. Dengan segala kelebihan yang dimiliki, tak salah kalau Rista menjadi incaran banyak cowok dan Rudi merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan para saingannya itu.

“Oke lah Rud, semoga perasaaanmu sekarang lebih lega setelah mengakui semuanya di radio ini. kita berharap saja Rista mendengar pengakuanmu ini. Thanks ya Rud”, sahut Rasti menutup pembicaraan.

“Namanya mirip kamu ya, Ras. Tinggal ditukar aja posisi huruf a sama huruf I”

“Lho kamu baru tahu ya, kalau Rista yang dimaksud Rudi itu sifatnya benar-benar mirip sama aku. Lihat aja, cantik, baik, periang, pandai, aktif berorganisasi. Semuanya itu kan ada pada diriku”

“Yeee, itu kan katamu sendiri”

Kembali Cindy tidak bisa menahan gelaknya. Beberapa saat kemudian telepon dari radio itu berdering kembali.

“Oke Ras, kita punya penelpon kedua”

“Halo”

“Halo Gito, Halo Rasti”

“Halo juga cowok. Nama kamu siapa ?”

“Namaku Herman. Aku kelas 2 SMU”

Cindy terkejut mendengar nama itu. Nama yang sama dengan nama seorang yang pernah dekat dengannya saat ini, Herman. Dia juga duduk di kelas 2 SMU dan Dia itu adalah kakak kelas Cindy di sekolah.

“Kamu sekolah dimana Herman ?”

“Di SMU Harapan”

Kali ini Cindy benar-benar terkejut karena nama sekolah yang disebutkan oleh si penelpon bernama Herman itu adalah nama sekolahnya.

“Mau mengakui kepada siapa ? Cewek atau cowok ?”, sahut Gito.

“Ya cewek dong mas”

“He he he siapa tahu”

“Aku mau mengaku kalau aku suka dengan adik kelasku disekolah yang bernama Cindy”

Cindy benar-benar terkejut mendengar pengakuan ini. Dia pun makin mengeraskan volume radionya.

“Wow nama yang bagus banget. Lalu kenapa kamu nggak berani mengakui langsung kepadanya, Herman. Kamu kan cowok, kok nggak gentleman begitu”

“Saya nggak tahu bagaimana caranya. Saya memang pengecut”

Sebuah jawaban polos yang membuat Gito dan Rasti tertawa tetapi hal ini tidak berlaku bagi Cindy. Kali ini dia merasa tidak ada sebuah lelucon yang didengarnya.

“Cinta pertama nih ?”

“Iya Ras”

“Waduh yang lagi kena sindrom cinta. Oke, saya turut berdukacita dan prihatin atas apa yang telah menimpamu Herman. Kamu telah terjangkit penyakit yang sangat susah disembuhkan, karena sampai saat ini para ahli farmasi didunia ini belum menemukan obat untuk penyakitmu. Penyakit jatuh cinta”

“Wah kamu bercanda terus, Git. Terus hubungan kalian selama ini bagaimana”

“Hubungan kami berdua sebenarnya cukup dekat. Hanya saja Cindy itu anak yang cukup gaul sehingga dia tidak hanya dekat denganku tetapi juga dekat dengan banyak teman cowoknya. Dia itu punya banyak sahabat, baik cowok maupun cewek karena dia itu supel dan mau mendengarkan keluh kesah temannya. Mungkin selama ini dia menganggap aku hanya sebagai salah satu sahabatnya, padahal aku sangat sayang padanya dan aku ingin dia menjadi orang yang istimewa buatku”

“Oh gitu, jadi apa yang baru kamu katakan juga sebagai alasan mengapa kamu tidak mau mengakui langsung kepadanya”

“Iya. Selain itu kalau aku menyatakan cintaku kepadanya dan dia tidak menerimanya, aku takut nantinya dia akan menjauhiku dan tidak bisa dekat seperti saat-saat sekarang. Aku takut kehilangan dia, Git.”

“Oke Herman. Nah Boys and Girls, ini tadi pengakuan Herman, cowok SMU Harapan yang lagi jatuh cinta kepada adik kelasnya yang bernama Cindy. Kita berharap Cindy mendengarkan pengakuan Herman tadi atau mungkin yang satu sekolah atau yang kenal dengan Herman dan Cindy bisa membantu mencomblangkan Herman dengan Cindy. Bukan begitu harapan kamu Herman?”

“Yup, terima kasih Gito, Rasti”

“Thanks juga buat kamu yang sudah bercerita, sukses ya Herman buat cintamu.”

“Oke”, sahut Herman. Kemudian terdengar suara gagang telepon diletakkan kembali pada tempatnya.

Cindy mengecilkan volume radionya. Dia tidak tertarik lagi untuk mendengar lanjutan acara pagi ini. Pengakuan seorang Herman, kakak kelasnya di radio tadi membuatnya diam. Dia sebenarnya sudah menyangka bahwa perhatian Herman selama ini kepada dirinya bukan sebuah perhatian biasa. Selama ini Herman terkenal pendiam dan selalu canggung jika berhadapan dengan seorang cewek, apalagi untuk memberikan perhatian lebih. Karena itu begitu Herman sering menunjukkan perhatian yang tidak biasanya kepada dirinya, Cindy menjadi curiga.

Sebenarnya Cindy juga menaruh simpati pada Herman. Bahkan semakin hari perasaan itu semakin kuat saja. Tapi setelah menunggu sekian lama, hingga empat bulan lamanya, tiada sebuah pernyataan cinta yang terungkap dari seorang Herman.

Cindy pun akhirnya merasa bahwa Herman hanya menganggap dirinya sebagai sahabat atau adiknya. Tidak lebih dari itu.

Tapi sekarang semuanya jelas. Cindy telah salah duga. Herman ternyata menyimpan sebuah perasaan sayang kepadanya. Hanya saja dia tidak berani mengungkapkannya.

Cindy terduduk lemas. Badannya disandarkannya pada batang pohon jambu. Sebenarnya ini sebuah berita gembira buatnya. Tapi sayang, berita ini terlambat dua minggu. Andai saja pengakuan Herman dua minggu lebih cepat, mungkin ceritanya akan lain. Cindy pasti sudah melonjak-lonjak kegirangan seperti orang gila.

Cindy masih terpekur. Dia teringat kejadian dua minggu yang lalu saat dia memutuskan untuk menerima cinta dari seorang cowok yang bernama Ardi.

“Maafkan aku Herman. Sebenarnya aku juga sayang kamu, sayang banget. Tapi maaf, semuanya sudah terlambat. Kau terlalu pengecut untuk jadi laki-laki, dan aku benci itu. Aku sekarang sudah tidak sendiri lagi. Sudah ada orang lain yang menyayangiku. Dan dia lebih berani darimu.

Yach, jika Tuhan mengizinkan, mungkin di lain waktu kita bisa merajut sebuah kisah yang lain. Tapi bukan hari ini,” gumam Cindy.

Dan berlalulah pagi itu bersama dengan berjalannya waktu.

* Ditulis di Surabaya, Juni 2003. Thanks to someone whose inspired me to write this story*

0 Comments:

 

Copyright(r) by wongkentir