Aku berdiri sendirian di sekitar sebuah hutan yang sangat lebat. Pepohonannya yang begitu rimbun melindungiku dari panasnya sang matahari. Hutan ini memang salah satu tempat yang tidak bisa ditaklukan oleh sinar dan panas sang matahari. Serangan sinar ultravioletnya yang begitu dahsyat gagal menembus bumi karena tehalang oleh dedaunan dan ranting dari pohon-pohon yang ada di hutan ini.
Mataku terpaku pada beberapa tangkai mawar yang tumbuh liar di hutan itu. Baru pertama kali kulihat bunga yang indah dengan tangkai berduri itu tumbuh di hutan ini. aku ingin memetik 3 tangkainya. Aku melangkahkan kakiku menuju tempat bunga itu tumbuh sambil menahan sakit karena kakiku menginjak ranting tajam dan dedaunan kering yang berserakan di tanah.
Dengan tiga tangkai bunga mawar di tangan aku berjalan tanpa arah. Langkahku terhenti didepan tiga buah gundukan tanah yang masing-masing mempunyai batu nisan. Nisan pertama bertuliskan “Cinta”, nisan kedua bertuliskan “Teman” dan nisan ketiga bertuliskan “Hidup”. Pada masing-masing kuburan itu kutancapkan setangkai mawar.
Mereka bertiga adalah kuburanku. Kuburan buat cintaku, buat temanku dan buat hidupku. Aku merasa diriku sudah mati. Yang hidup saat ini hanya rohku yang belum mau melepaskan diri dari jasadku.
Cintaku sudah mati sejak Arik, kekasihku yang sangat kucintai meninggalkanku. Dia mencampakkanku setelah semua yang telah kulakukan dan kukorbankan untuk dirinya. Dia lebih memilih orang lain yang lebih baik daripada aku. Apalagi saat itu Arik berkata bahwa dia sama sekali tidak pernah mencintaiku. Selama ini dia hanya menganggapku sebagai seseorang yang bisa dimanfaatkan.
Tiba-tiba aku seperti melihat dirinya memegang sebilah pedang tajam. Pedang itu dia tusukkan ke dadaku. Aneh, pedang itu tidak membunuhku. Pedang itu serasa menembus diriku. Tetapi sesaat setelah pedang itu menembusku, aku merasa seprti ada bagian yang hilang dalam diriku. Arik telah membunuh cintaku.
Kuburan kedua itu adalah sebagai simbol pengkhianatan yang dilakukan sahabat-sahabatku yang selama ini sangat kupercaya. Dan kuburan terakhir itu kupersiapkan untuk pemakaman hidupku yang tinggal sebentar. Aku yakin hidupku tidak akan lama lagi karena cintaku dan sahabatku telah meninggalkannya.
Karena itulah aku tinggal di hutan yang lebat ini. Aku telah tinggal di hutan ini selama hampir dua bulan. Aku ingin menjalani kesendirianku dan pergi dari kehidupan. Aku ingin mengasingkan diriku dan menanti saat-saat kematianku. Menanti saat-saat aku menyusul cintaku, sahabatku dan jiwaku yang telah meninggalkanku terlebih dahulu.
Setelah menancapkan setangkai mawar pada masing-masing kuburanku, aku duduk bersandar pada sebatang pohon. Mataku kembali menatap setangkai mawar yang sekarang menghiasi kuburan itu. Mawar itu terlihat murung. Mungkin karena dia kecewa harus tumbuh di atas sebuah kematian.
“Maafkan aku, mawar”, dan akupun terlelap.
Tiba-tiba ada sebuah cahaya yang sangat menyilaukan dan membuatku terbangun. Mataku tidak bisa melihat dengan jelas hingga cahaya itu meredup. Aku melihat tiga sosok yang belum pernah kulihat sebelumnya berada dihadapanku. Mereka tersenyum kepadaku, tetapi aku tidak merasakan sebuah senyuman kebahagiaan. Mereka terlihat seperti sosok yang menderita.
“Siapa kalian ?”, tanyaku terbata-bata ujarku sambil bergerak mundur kebelakang. Aku sebenarnya sangat ketakutan melihat ketiga sosok itu.
Satu dari mereka maju kedepan menghampiriku. Dia memakai pakaian berwarna putih yang bercahaya. Tetapi cahayanya sangat redup. Wajahnya putih dan sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa wajah pada sosok itu mirip dengan wajahku. Aku semakin ketakutan dan semakin terdesak. Aku berniat berlari tetapi kakiku sekarang tidak bisa kulangkahkan. Aku seperti terpaku di tempat itu.
“Siapa kau”, tanyaku lagi.
“Kau sudah tahu siapa aku”, jawab sosok itu.
“Siapa kau, apa yang akan kamu lakukan kepadaku”
“Aku adalah cinta yang ada didalam jiwamu”
“Tidak, kau bohong. Kau sudah mati. Lihatlah itu kuburanmu”, ujarku sambil menunjuk kuburan-kuburan itu. Tetapi tiba-tiba aku sangat terkejut. Kuburan itu sudah tidak rapi lagi, kuburan itu baru terbongkar.
“Aku belum mati, Randi”
“Tidak. Kau telah mati. Arik telah membunuhmu dengan pedangnya. Dan sejak saat itu aku tidak merasakan kehadiranmu lagi di dalam jiwaku. Engkau sudah hilang. Engkau sudah mati. Mati!”
“Aku belum mati, Ran. Aku masih hidup. Tetapi aku sekarat. Kamu lihat cahaya disekitarku ini. Cahaya ini belum padam jadi itu artinya aku belum mati. Tetapi cahayanya redup karena aku sedang sekarat. Selamatkan aku, Randi”
“Tidak kau telah menyusahkanku. Lebih baik kau mati”
“kau salah, Randi. Cinta tidak membuat orang susah. Cinta itu membuat orang bahagia. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi untuk membuatmu bahagia kembali. Beri aku kesempatan untuk bercahaya lebih terang seperti sebelumnya”
Aku terdiam. Kemudian sosok yang kedua datang menghampiriku. Sosok ini berjubah hijau yang bercahaya. Sama seperti sosok yang pertama cahaya sosok ini juga redup dan wajahnya juga mirip denganku.
“Kau jiwa persahabatanku?”, tanyaku.
“Iya, Ran. Dan aku sama seperti cinta, aku belum mati.”
“Tidak. Kau juga sudah mati sama seperti cinta.”
“Lihatlah diriku, Ran. Aku masih bercahaya meskipun sangat redup. Aku juga sekarat sama seperti cinta. Kami butuh jiwamu kembali untuk bisa hidup”
“Tidak. Aku tidak mau dikhianati lagi.”
“Kamu salah, Ran”, ujar sosok yang terakhir. Dia menghampiriku juga. Jubahnya tidak berwarna dan cahayanya masih cukup terang tidak seperti kedua sosok sebelumnya.
“Sahabatmu tidak mengkhianatimu, Randi. Seorang sahabat tidak akan pernah mengkhianati temannya. Mereka yang telah mengkhianatimu itu bukan sahabatmu. Sahabat itu seperti pohon rindang yang melindungi orang-orang yang berada dibawahnya dari panas. Sahabat itu seperti air yang menyegarkan orang-orang yang meminumnya. Sahabat itu seperti angina yang menyejukkan orang-orang disekitarnya. Begitu juga cinta. Cinta itu indah. Cinta itu suci. Dia tidak akan pernah menyakiti jiwanya. Kau lihat cintamu, putih, suci sama sekali tidak bernoda sedikitpun”
“Kau jiwaku?”
“Ya aku adalah jiwamu. Kau bisa melihat
“Aku membunuh kalian…”
“Ya, kau menguburkan kami dan memisahkan kami bertiga. Tahukah kau bahwa kami tidak bisa dipisahkan. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Cinta dan sahabat butuh jiwa untuk hidup dan aku akan merasa hampa jika kau mengambil cinta dan sahabat dariku. Kau egois, Ran. Kau kejam. Kau bunuh dan kubur kami hidup-hidup. Padahal kami masih ingin hidup. Kami masih ingin hidup dalam dirimu.”
Aku berlutut dan menunduk dihadapan ketiga sosok itu. Aku seperti tidak mempunyai kekuatan untuk berdiri.
“Aku egois? Aku membunuh cintaku, sahabatku dan jiwaku? Aku membunuh diriku sendiri? Aku seorang pembunuh?” ujarku. Tak terasa kemudian butir-butir air mata keluar dari mataku.
“Randi, berilah kami kesempatan untuk hidup kembali. Bongkarlah kuburan itu dan ambil kembali cinta, sahabat dan jiwamu. Cepatlah, karena kami sudah sekarat. Tolonglah kami, Randi. Jangan bunuh kami,” sahut ketiga sosok itu serempak. Dan bersamaan dengan itu mereka menghilang dari hadapanku.
Aku kembali terbangun dari tidurku.
“Hah cuma mimipi,” gumamku.
Aku melihat ketiga kuburan itu masih rapi lengkap dengan setangkai mawar yang tertancap disana. Aku bangkit dan melangkah menuju ketiga kuburan itu.
“Cintaku, sahabatku dan jiwaku maafkan aku. Aku menyesal telah mengubur kalian. Padahal kalian masih hidup. Aku bukannya ingin membunuh kalian, hanya saja aku merasa sudah bosan dengan hidupku ini. Aku kecewa tetapi tidak seharusnya aku membunuh kalian. Sekali lagi maafkan aku. Aku akan bongkar kuburan kalian.”
Dengan penuh penyesalan aku ambil mawar yang menancap di kuburan itu untuk kemudian aku bongkar ketiga kuburan itu. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku serasa segar kembali.
*ditulis di Surabaya, sekitar bulan Januari 2003 *
0 Comments:
Post a Comment