Friday, January 18, 2008

Kado Untuk Fida

Sejak kecil Fida sudah suka sepakbola. Semua itu karena didikan ayahnya yang memang seorang gila bola. Sejak masuk Taman kanak-kanak, Ayahnya selalu mengajaknya ke stadion untuk nonton sepak bola. Gambaran seseorang yang tengah asyik menari-nari memainkan si kulit bundar di rumput hijau terekam dengan jelas di otaknya. Juga terpatri dengan indah ekspresi-ekspresi para pemain usai mencetak gol yang diiringi dengan sorak sorai kegembiraan para supporternya.

Kenangan masa kecil itu terus terbawa hingga saat ini Fida duduk di bangku kelas dua, sekolah menengah atas. Bahkan kali ini kegemaran Fida ke sepakbola bukan hanya menonton, tetapi juga bermain. Sering kali dia ingin diikutsertakan bermain sepakbola bersama teman-temannya yang laki-laki saat jam olahraga tiba, tetapi tidak sekalipun permintaanya dikabulkan. Baik oleh sang guru olahraga maupun oleh teman-temannya sendiri.

“Kamu itu cewek, Fid. Mainan yang wajar-wajar saja. Sepakbola ini berbahaya buat seorang cewek, apalagi cewek secantik kamu,” ujar Roni, sang ketua kelas.

“Iya Fid. Ntar kalau kamu ikutan main bola, kamu jadi tambah item lho,” tambah Heru.

Fida sangat tersinggung diperlakukan seperti ini. Baginya ini sebuah rasisme dan penghinaan. Sepakbola itu adalah sebuah permainan yang universal, yang bebas dimainkan oleh siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Keluarganya pun melarangnya bermain bola. Apalagi sejak ayahnya meninggal lima tahun yang lalu. Ini dibuktikan dengan tidak pernah dikabulkannya permintaannya untuk dibelikan sebuah bola. Praktis yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menonton dan menonton saja.

Dari orang-orang terdekatnya, hanya seorang Aya yang memahami kecintaannya pada sepakbola. Aya adalah teman sekelasnya di kelas dua ini yang kebetulan juga adalah teman sebangkunya. Sebelum bertemu Aya, Fida hanya bisa menyimpan rapat semua angan-angannya, tetapi sejak bertemu Aya, dia seperti mempunyai tempat untuk berbagi. Kepada Ayalah semua keluh kesah dan angan-angannya tentang sepakbola diceritakan. Tentang penolakan keluarganya, tentang tindakan rasis yang dilakukan teman-teman laki-laknya, tentang keinginannya untuk mempunyai bola dan sepatu sepak serta cita-citanya untuk mempunyai klub sepakbola sendiri di Indonesia. Kebetulan Aya juga seorang penggemar bola sama seperti dirinya. Jadi dia sangat paham dengan apa yang dialami oleh Fida. Hanya saja Aya hanya suka menonton sepakbola. Kalau untuk memainkannya, dia enggan.

--

Beberapa hari kedepan ada sebuah peristiwa penting bagi Fida yang diperingati tiap tahunnya. Ulang Tahun. Dan untuk tahun ini adalah ulang tahun Fida yang ke-17. Sweet seventeen.

Ulang tahun ini membuat Aya bingung. Dan hal yang paling membuat pusing tidak lain dan tidak bukan adalah kado. Sebenarnya Aya tahu kado apa yang paling cocok untuk sahabatnya itu. Sebuah bola. Tapi justru itulah yang membuat Aya bingung.

Terus terang Aya khawatir dengan sikap Fida yang terlalu tomboy. Sekarang ini baginya Aya tidak tampak sebagai seorang wanita. Potongan rambutnya, cara dia berpakaian, cara dia berjalan tidak mencerminkan seorang wanita. Dia takut jika dia memberinya kado bola, itu malah lebih menjauhkannya dari sisi feminitas yang harusnya dimiliki oleh setiap wanita. Jika itu terjadi, berarti Aya bukan malah membantunya, tetapi malah menjerumuskannya. Memang awalnya mungkin Fida akan gembira, tetapi lama kelamaan Fida pasti akan menyadarinnya.

Aya benar-benar dibuat bingung. Kerjaannya beberapa hari terakhir ini adalah mondar-mandir ke toko olahraga. Antara jadi dan nggak jadi beli bola.

Dirinya makin panik saat h-1, Fida memberikan sebuah clue tentang kado special apa yang diinginkannya dari sahabatnya itu.

“Eh ulang tahunku besok jangan lupa datang ya. Meski cuman sederhana, tapi aku ingin banget kamu datang, Ya.”

“Insha Allah Fid.”

“Dan jangan lupa kadonya ya,” ujar Fida sambil meringis. “Kamu tahu kan kira-kira apa yang aku inginkan. Salah satu dari angan-anganku yang kuceritakan ke kamu beberapa waktu yang lalu.”

--

Dan hari ini adalah hari ulang tahun itu. Aya masih belum bisa memutuskan apakah dia jadi memberi Fida sebuah bola atau tidak. Didepan Aya saat ini berjajar barisan bola sepak dengan berbagai model, mulai dari model bola sepak klasik dengan warna dasar putih dengan kombinasi bangun segi enam berwarna hitam hingga model-model baru yang bermacam-macam desainnya.

Aya melihat bola-bola itu dengan muram. Hanya benda didepan matanya itulah yang sangat diinginkan Fida sebagai kado istimewa ulang tahunnya yang ke-17. Tidak ada sebuah kompromi didalamnya. Fida pasti bakal sangat kecewa jika bukan bola yang diterimanya. Meski kaus bola ataupun sepatu bola adalah sebuah kado alternatif yang masih berbau dengan sepakbola, Aya tidak yakin Fida akan senang menerimanya.

Aya masih tidak bergeming dari tempat berdirinya sekarang.

Seorang pramuniaga mendekatinya.

Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”

“Oh.. eh.. mmmmm,” Aya bingung menjawabnya.

“Saya perhatikan sejak kemarin lusa Mbak mondar-mandir ke toko ini tanpa membeli sesuatu. Dan selama kunjungan, mbak selalu berdiri di depan counter bola tanpa bergerak kemana-mana. Ada yang mbak bingungkan tentang bola?”

Aya bingung. Tiba-tiba Aya merasa ini saatnya dia berbagi kesulitannya dengan orang lain. Siapa tahu sebagai pramuniaga toko olahraga, si mbak yang didepannya ini punya solusi untuk masalahnya.

Aya pun akhirnya membagi permasalahannya. Begitu selesai, sebuah komentar singkat membuat Aya terkejut.

“Itu memang sulit Mbak Aya, tetapi saya mempunyai sebuah ide yang mungkin bisa membuat mbak Aya tertarik.”

“Oh iya?! Apa itu Mbak?”

“Silakan ikut saya.”

Aya mengikuti pramuniaga itu menuju sebuah ruangan yang terletak di belakang toko. Ruangan itu penuh dengan barang-barang stok toko itu. Bisa dibilang ruangan itu adalah gudang dari toko olahraga itu.

“Sebentar Mbak, saya akan mengambil sesuatu.”

Si pramuniaga itu masuk lebih kedalam gudang itu. Dia membuka sebuah kotak berwarna coklat dan mengeluarkan isinya. Tampak di mata Aya sebuah bola sepak kulit berwarna putih bersih tanpa motif apapun.

Pramuniaga itu memberikannya kepada Aya. Aya pun jadi bingung.

“Untuk apa bola ini?”

“Masih belum tahu juga maksud saya?”

Aya menggeleng.

“Oke.”

Pramuniaga itu kembali membuka kotak yang berwarna cokelat itu lagi. Kali ini yang dikeluarkan adalah sebuah bola dengan motif yang tidak biasa. Motif bergambar bunga mawar merah dan putih dengan tulisan Happy Valentine Day. Bola itu tampak indah, tidak seperti bola sepak biasa.

“Bola ini bukan bola biasa, tetapi bola valentine. Seringkali seorang cewek bingung mau ngasih hadiah valentine apa ke kekasihnya. Mau ngasih cokelat sudah biasa, jadinya kami berinisiatif membuat bola bermotif khusus untuk para cewek yang ingin memberi hadiah kepada cowoknya yang gila bola. Jadinya ya bola seperti ini.”

*Ting*

Tiba-tiba sebuah lampu bersinar terang di kepala Aya.

“Aku tahu maksud mbak sekarang. Oke mbak, aku beli bola putih tadi.”

“Mau dilukis sendiri bolanya? Nggak sekalian dilukis disini? Soalnya kebetulan sekali, si pelukis bola tengah ada disini.”

“Enggak mbak. Aku lukis saja sendiri. Aku ingin beri hadiah special untuk sahabatku dengan hasil karyaku sendiri.”

“Oh, ya terserah mbak kalau gitu.”

“Saya beli dua ya mbak. Takut-takut kalau gagal nanti,” ujar Aya dengan tersenyum. Kali ini hilang kekhawatirannya. Kini yang ditunggunya adalah ekspresi sang sahabat ketika membuka kadonya.

--

Ulang tahun Fida cukup sederhana tetapi khidmat. Hanya keluarga dan beberapa orang teman saja yang diundang, termasuk Aya tentunya. Acara demi acara berlalu dengan sangat meriah mulai dari pemberian ucapan selamat hingga acara tiup lilin. Begitu acara buka kado, suasana mendadak menjadi menegangkan. Tak terkecuali bagi Aya. Apalagi Fida memutuskan untuk membuka kado Aya di akhir nanti.

Kado demi kado dibuka, bermacam-macam hadiah didapat olehnya. Mulai dari kaus bola, tas, sepatu, topi hingga boneka. Seperti dugaan Aya, Fida tidak begitu gembira menerimanya. Hanya seutas senyum yang sangat dipaksakan yang keluar dari bibirnya begitu kado itu terbuka. Fida tampak kecewa.

Kini tinggalah kado dari Aya yang belum terbuka. Dengan berdebar-debar, Fida membuka kado Aya. Dengan berdebar-debar pula Aya menanti ekspresi wajah Fida.

Kado terbuka. Fida mengeluarkan isinya. Semua undangan bisa melihatnya. Sebuah bola sepak yang sebagian berwarna putih dan sebagian lagi berwarna pink. Pada satu sisinya tergambar sebuah karikatur dari wajah Fida yang tengah tertawa. Disebelahnya tertulis angka 22. Angka yang disukai oleh Fida karena 22 adalah nomor punggung dari Kaka, pemain Brazil dan AC Milan yang menjadi idolanya. Di bawah gambar dan angka itu tertulis “Happy Sweet Seventeen My Best Friend. Reach your dream and never give up. From Aya.”

Fida tampak terharu membacanya. Matanya berkaca-kaca.

Dengan penuh kegembiraan dia hampiri tempat dimana Aya berdiri. Aya sendiri masih tampak tegang. Begitu sudah dekat, Fida langsung memeluk Aya dengan erat.

“Terima kasih Aya, terima kasih. Ini merupakan hadiah terindah selama hidupku.”

Aya pun jadi lega mendengarnya. Ketegangannya mencair sudah.

‘Oh Tuhan, terima kasih telah memberikan kebahagiaan pada sahabatku di ulang tahunnya yang ke tujuh belas ini,’ batin Aya.

Dan pesta pun berlanjut hingga usai.


*Cerpen ditulis di Gresik, September 1999. Di revisi di Jakarta tanggal 16 Januari 2008 dengan merubah beberapa nama untuk disesuaikan dengan kondisi sekarang*


0 Comments:

 

Copyright(r) by wongkentir