Sejak kecil Fida sudah suka sepakbola. Semua itu karena didikan ayahnya yang memang seorang gila bola. Sejak masuk
Kenangan masa kecil itu terus terbawa hingga saat ini Fida duduk di bangku kelas dua, sekolah menengah atas. Bahkan kali ini kegemaran Fida ke sepakbola bukan hanya menonton, tetapi juga bermain. Sering kali dia ingin diikutsertakan bermain sepakbola bersama teman-temannya yang laki-laki saat jam olahraga tiba, tetapi tidak sekalipun permintaanya dikabulkan. Baik oleh sang guru olahraga maupun oleh teman-temannya sendiri.
“Kamu itu cewek, Fid. Mainan yang wajar-wajar saja. Sepakbola ini berbahaya buat seorang cewek, apalagi cewek secantik kamu,” ujar Roni, sang ketua kelas.
“Iya Fid. Ntar kalau kamu ikutan main bola, kamu jadi tambah item lho,” tambah Heru.
Fida sangat tersinggung diperlakukan seperti ini. Baginya ini sebuah rasisme dan penghinaan. Sepakbola itu adalah sebuah permainan yang universal, yang bebas dimainkan oleh siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Keluarganya pun melarangnya bermain bola. Apalagi sejak ayahnya meninggal
Dari orang-orang terdekatnya, hanya seorang Aya yang memahami kecintaannya pada sepakbola. Aya adalah teman sekelasnya di kelas dua ini yang kebetulan juga adalah teman sebangkunya. Sebelum bertemu Aya, Fida hanya bisa menyimpan rapat semua angan-angannya, tetapi sejak bertemu Aya, dia seperti mempunyai tempat untuk berbagi. Kepada Ayalah semua keluh kesah dan angan-angannya tentang sepakbola diceritakan. Tentang penolakan keluarganya, tentang tindakan rasis yang dilakukan teman-teman laki-laknya, tentang keinginannya untuk mempunyai bola dan sepatu sepak serta cita-citanya untuk mempunyai klub sepakbola sendiri di
--
Beberapa hari kedepan ada sebuah peristiwa penting bagi Fida yang diperingati tiap tahunnya. Ulang Tahun. Dan untuk tahun ini adalah ulang tahun Fida yang ke-17. Sweet seventeen.
Ulang tahun ini membuat Aya bingung. Dan hal yang paling membuat pusing tidak lain dan tidak bukan adalah kado. Sebenarnya Aya tahu kado apa yang paling cocok untuk sahabatnya itu. Sebuah bola. Tapi justru itulah yang membuat Aya bingung.
Terus terang Aya khawatir dengan sikap Fida yang terlalu tomboy. Sekarang ini baginya Aya tidak
Aya benar-benar dibuat bingung. Kerjaannya beberapa hari terakhir ini adalah mondar-mandir ke toko olahraga. Antara jadi dan nggak jadi beli bola.
Dirinya makin panik saat h-1, Fida memberikan sebuah clue tentang kado special apa yang diinginkannya dari sahabatnya itu.
“Eh ulang tahunku besok jangan lupa datang ya. Meski cuman sederhana, tapi aku ingin banget kamu datang, Ya.”
“Insha Allah Fid.”
“Dan jangan lupa kadonya ya,” ujar Fida sambil meringis. “Kamu tahu
--
Dan hari ini adalah hari ulang tahun itu. Aya masih belum bisa memutuskan apakah dia jadi memberi Fida sebuah bola atau tidak. Didepan Aya saat ini berjajar barisan bola sepak dengan berbagai model, mulai dari model bola sepak klasik dengan warna dasar putih dengan kombinasi bangun segi enam berwarna hitam hingga model-model baru yang bermacam-macam desainnya.
Aya melihat bola-bola itu dengan muram. Hanya benda didepan matanya itulah yang sangat diinginkan Fida sebagai kado istimewa ulang tahunnya yang ke-17. Tidak ada sebuah kompromi didalamnya. Fida pasti bakal sangat kecewa jika bukan bola yang diterimanya. Meski kaus bola ataupun sepatu bola adalah sebuah kado alternatif yang masih berbau dengan sepakbola, Aya tidak yakin Fida akan senang menerimanya.
Aya masih tidak bergeming dari tempat berdirinya sekarang.
Seorang pramuniaga mendekatinya.
“
“Oh.. eh.. mmmmm,” Aya bingung menjawabnya.
“Saya perhatikan sejak kemarin lusa Mbak mondar-mandir ke toko ini tanpa membeli sesuatu. Dan selama kunjungan, mbak selalu berdiri di depan counter bola tanpa bergerak kemana-mana.
Aya bingung. Tiba-tiba Aya merasa ini saatnya dia berbagi kesulitannya dengan
Aya pun akhirnya membagi permasalahannya. Begitu selesai, sebuah komentar singkat membuat Aya terkejut.
“Itu memang sulit Mbak Aya, tetapi saya mempunyai sebuah ide yang mungkin bisa membuat mbak Aya tertarik.”
“Oh iya?! Apa itu Mbak?”
“Silakan ikut saya.”
Aya mengikuti pramuniaga itu menuju sebuah ruangan yang terletak di belakang toko. Ruangan itu penuh dengan barang-barang stok toko itu. Bisa dibilang ruangan itu adalah gudang dari toko olahraga itu.
“Sebentar Mbak, saya akan mengambil sesuatu.”
Si pramuniaga itu masuk lebih kedalam gudang itu. Dia membuka sebuah
Pramuniaga itu memberikannya kepada Aya. Aya pun jadi bingung.
“Untuk apa bola ini?”
“Masih belum tahu juga maksud saya?”
Aya menggeleng.
“Oke.”
Pramuniaga itu kembali membuka
“Bola ini bukan bola biasa, tetapi bola valentine. Seringkali seorang cewek bingung mau ngasih hadiah valentine apa ke kekasihnya. Mau ngasih cokelat sudah biasa, jadinya kami berinisiatif membuat bola bermotif khusus untuk para cewek yang ingin memberi hadiah kepada cowoknya yang gila bola. Jadinya ya bola seperti ini.”
*Ting*
Tiba-tiba sebuah lampu bersinar terang di kepala Aya.
“Aku tahu maksud mbak sekarang. Oke mbak, aku beli bola putih tadi.”
“Mau dilukis sendiri bolanya? Nggak sekalian dilukis disini? Soalnya kebetulan sekali, si pelukis bola tengah ada disini.”
“Enggak mbak. Aku lukis saja sendiri. Aku ingin beri hadiah special untuk sahabatku dengan hasil karyaku sendiri.”
“Oh, ya terserah mbak kalau gitu.”
“Saya beli dua ya mbak. Takut-takut kalau gagal nanti,” ujar Aya dengan tersenyum. Kali ini hilang kekhawatirannya. Kini yang ditunggunya adalah ekspresi sang sahabat ketika membuka kadonya.
--
Ulang tahun Fida cukup sederhana tetapi khidmat. Hanya keluarga dan beberapa
Kado demi kado dibuka, bermacam-macam hadiah didapat olehnya. Mulai dari kaus bola, tas, sepatu, topi hingga boneka. Seperti dugaan Aya, Fida tidak begitu gembira menerimanya. Hanya seutas senyum yang sangat dipaksakan yang keluar dari bibirnya begitu kado itu terbuka. Fida
Kini tinggalah kado dari Aya yang belum terbuka. Dengan berdebar-debar, Fida membuka kado Aya. Dengan berdebar-debar pula Aya menanti ekspresi wajah Fida.
Kado terbuka. Fida mengeluarkan isinya. Semua undangan bisa melihatnya. Sebuah bola sepak yang sebagian berwarna putih dan sebagian lagi berwarna pink. Pada satu sisinya tergambar sebuah karikatur dari wajah Fida yang tengah tertawa. Disebelahnya tertulis angka 22. Angka yang disukai oleh Fida karena 22 adalah nomor punggung dari Kaka, pemain
Fida
Dengan penuh kegembiraan dia hampiri tempat dimana Aya berdiri. Aya sendiri masih
“Terima kasih Aya, terima kasih. Ini merupakan hadiah terindah selama hidupku.”
Aya pun jadi lega
‘Oh Tuhan, terima kasih telah memberikan kebahagiaan pada sahabatku di ulang tahunnya yang ke tujuh belas ini,’ batin Aya.
Dan pesta pun berlanjut hingga usai.
*Cerpen ditulis di Gresik, September 1999. Di revisi di Jakarta tanggal 16 Januari 2008 dengan merubah beberapa nama untuk disesuaikan dengan kondisi sekarang*
0 Comments:
Post a Comment