Wednesday, March 05, 2008

Save Electricity, Save Our Country, Save The World

PLN Kembali menjadi sorotan. Setelah permasalahan pemadaman bergilir akibat terganggunya pasokan bahan bakar ke sejumlah pembangkit selesai, kali ini PLN menuai kontroversi karena program insentif dan disinsentifnya. Banyak pihak menilai kebijakan PLN ini sangat tidak masuk akal. Bahkan ada beberapa pihak yang mengatakan, ini adalah cara PLN untuk menaikkan harga TDL secara samar.

Apapun itu, inti sebenarnya dari program PLN ini adalah mengajak kita semua untuk lebih melakukan penghematan energi listrik, terutama pada jam-jam saat beban puncak yang terkenal dengan 17-22. Kenapa harus dihemat? PLN kan tugasnya memproduksi listrik? Bukankah kalau menghemat listrik, PLN jadi rugi?

Oke, sebelum aku menjawab itu semua, aku perkenalkan dulu sama si Jamali. Batasan untuk berbicara masalah listrik ini aku batasi pada si Jamali yakni Jawa-Madura-Bali. Jamali adalah system transmisi tenaga listrik terbesar di Indonesia. Sistem Jamali ini terdiri dari puluhan pembangkit yang tersebar mulai dari ujung barat pulau jawa hingga Bali. Terdiri dari bermacam-macam pembangkit, Tenaga Uap (PLTU), Tenaga Gas (PLTG), Tenaga Gas Uap (PLTGU), Tenaga Air (PLTA) dan Tenaga Panas Bumi (PLTP). Si Jamali ini mempunyai kemampuan total memproduksi listrik sebesar 20563 MW dengan catatan semua pembangkitnya beroperasi maksimal.

Nah sekarang kita berbicara tentang harga listrik. Ketika kita membayar rekening listrik, kita hanya dikenakan satu harga per kwh (kalau gak salah Rp. 600 per kwh ya untuk pelanggan rumah tangga), tidak peduli dari mana listrik itu dibangkitkan. Tetapi tahukah anda bahwa PLN memproduksi listrik dengan harga yang berbeda-beda tiap pembangkit?

Harga / biaya produksi listrik di masing2 pembangkit dipengaruhi oleh bahan bakar si pembangkit tersebut. Urut-urutan termurahnya mulai dari air, panas bumi, batubara, gas dan terakhir tentu saja minyak, baik itu MFO (Marine Fuel Oil) maupun HSD (High Speed Diesel).

Berdasarkan harga per kwh, tentu saja PLN akan melakukan produksi dengan prioritas yang termurah dulu. Tapi tetap saja biaya produksinya sangat besar, karena ternyata pembangkit di negeri yang berbahan bakar Minyak masih cukup banyak (sekitar 26 %). Nah lho? Dan kebanyakan pembangkit tua yang cukup boros. Jika seluruh pembangkit listrik di system Jamali beroperasi, maka rata-rata harga produksi mencapai Rp. 2200 / kwh. Jadi intinya, jika semakin banyak permintaan akan listrik, maka PLN bukannya untung, tapi malah tekor. Tapi kalau rugi, kenapa PLN masih bisa berdiri hingga saat ini? Itu semua karena subsidi dari pemerintah.

Aku mengutip salah satu kalimat dari situs plnjateng

“….Selama ini negara masih mensubsidi selisih biaya produksi listrik, karena tarif listrik yang dikenakan ke pelanggan masih jauh di bawah harga produksi. Dalam memenuhi layakan kelistrikan bagi masyarakat Indonesia, PLN hanyalah pelaksana kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation/PSO) negara. Artinya devisit biaya produksi dan tarif listrik yang dikenakan ke pelanggan PLN menjadi beban APBN. Budaya hemat listrik secara otomatis juga akan berpengaruh positif bagi anggaran negara…..”

Dengan penjelasan ini sudah terjawab kan tiga pertanyaan tadi.

Karena itu semua, maka budaya hemat energi harus kita lakukan. Apalagi pada saat beban puncak 17 – 22 itu. Apakah beban puncak 17-22 itu? Lihat gambar berikut ini

Dari gambar bisa dilihat beban listrik pada pagi hingga siang hari cenderung normal (kurva berwana biru). Tetapi di sore hari mulai pukul 17.00 beban langsung naik drastis. Dan ini biasanya bertahan hingga pukul 22.00 malam. Inilah yang disebut dengan beban puncak di 17-22.

Saat beban puncak adalah saatnya semua pembangkit beroperasi, termasuk pembangkit yang berbahan bakar paling mahal yakni HSD.

Coba dibayangkan jika kita sedikit mengurangi pemakaian listrik pada jam 17-22 sebesar 50 watt misalnya seperti yang dikampanyekan PLN dan Pemerintah. Andai tiap 1 KWh listrik membutuhkan 0,3 liter solar, maka berarti kita selama 5 jam telah menghemat 0,05 x 0,3 x 5 = 0,075 liter solar.

Oke itu jika satu pelanggan. Jika 1 juta pelanggan PLN di system Jamali melakukannya, maka akan ada penghematan sekitar 0,075 x 1000000 = 75 Kilo liter HSD. Dan jika diuangkan, dengan standard harga solar tanpa subsidi sekitar Rp. 7000, maka akan dihemat devisa Negara sebesar 525 juta per hari. Itu jika 1 juta pelanggan, kalau 2 juta pelanggan, kalau 3 juta, bisa dibayangkan penghematannya. Subsidi ini lumayan banget untuk hal lain, pendidikan misalnya.

Penghematan ini sangat tergantung pada pelanggan rumah tangga seperti kita-kita ini. Karena Untuk pelanggan PLN industri, program ini tak hanya bersifat himbauan saja. PLN memiliki layanan DayaMax Plus yang ditujukan bagi pelanggan industri. PLN akan memberikan insentif khusus bagi pelanggan industri yang bisa menggeser jam konsumsi listriknya dari waktu beban puncak (WPB) ke luar waktu beban puncak (LWBP). Tapi tampaknya PLN mulai menerapkan pada pelanggan rumah tangga juga dalam waktu dekat ini.

Makanya, buat rekan-rekan semua, aku mengajak untuk berhemat. Hemat energi ini manfaatnya banyak sekali. Rekening listrik pastinya turun. Devisa Negara bisa diselamatkan. Secara global, menyelamatkan iklim di Bumi, karena mengurangi pemakaian Bahan bakar fosil.

Cukup kurangi 50 watt di 17-22. Dan seperti kata iklan2, matiin yang gak perlu.


0 Comments:

 

Copyright(r) by wongkentir