Monday, February 18, 2008

Penantian dengan Biola

Aku duduk sendirian di sebuah café yang terletak dipinggir sebuah jalan kecil yang khusus untuk pejalan kaki. Café itu biasanya sangat ramai tetapi saat aku berada disana saat ini café ini terlihat cukup sepi. Hanya 4 meja saja yang terisi oleh pengunjung termasuk meja yang kugunakan saat ini. Secangkir kopi panas dan sepotong roti isi serta sebuah majalah tersaji di mejaku

Suasana café yang mnyenangkan memang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Musik klasik yang mengalun membuat suasana begitu romantis. Selain itu dari dalam café kita bisa melihat lalu lalangnya para pejalan kaki yang terkadang menarik perhatian. Terlihat seorang pria bertubuh gemuk dan pendek berjalan dengan payah karena membawa dua buah koper yang sangat besar. Kemudian ada seorang wanita yang sangat tinggi dan ramping dengan pakaian ala pegawai kantoran berjalan terjatuh-jatuh karena hak sepatunya yang mungkin terlalu tinggi. Ada juga seorang pemuda-pemudi yang kira-kira seusia sama denganku berjalan mesra sambil memegang es krim di tangannya masing-masing.

Tapi ada satu pemandangan unik yang benar-benar menarik perhatianku. Seorang pengamen biola sedang memamerkan kebolehannya ditengah kerumunan orang di ujung jalan ini. Baru pertama kali di kota ini aku melihat seorang pengamen biola. Biasanya yang berseliweran adalah pengamen yang membawa gitar atau gendang.

Orang-orang yang mengerumuninya terlihat cukup antusias juga, mereka terlihat menikmati permainan biola solo yang selama ini hanya bisa ditonton di televisi. Mereka tampak bertepuk tangan dengan riuh setiap kali pengamen biola itu selesai mengalunkan sebuah lagu. Bahkan ada juga yang tak segan memberi uang yang nominalnya tidak bisa dibilang kecil. Dan hal inilah yang membuat sang pengamen biola terlihat lebih bersemangat untuk menggesek biolanya.

Aku begitu menikmati pemandangan asing itu hingga waktu istirahatku berakhir. Arloji di tanganku sudah menunjukkan jam 1 siang. Saat itu baru kusadari bahwa aku beanr-benar takjub melihat pengamen itu. Padahal aku sendiri belum mendengar permainannya. Secangkir kopi yang sedari tadi dihadapanku dan menanti untuk diminum tidak kusentuh sama sekali. Kuminum sedikit kopi itu lalu kukembalikan majalah pada raknya dan bergegas pergi keluar dari café.

Aku berjalan menuju kantorku yang terletak di seberang ujung jalan ini. Aku berharap bisa melihat wajah pengamen biola itu ketika melewatinya. Ketika aku sudah dekat dengan pengamen itu hatiku tiba-tiba berdebar-debar. Semakin dekat lagi detak jantungku berdetak semakin cepat. Aku sendiri tidak tahu firasat apa yang terjadi pada diriku. Dan ketika sudah semakin dekat dengan pengamen itu, tiba-tiba tubuhku seperti tertarik sebuah magnet besar. Magnet itu menarikku begitu kuat hingga aku tidak sanggup melawannya. Magnet itu membuatku membabi buta mendesak kerumunan penonton hingga akhirnya berdiri tepat dihadapan sang pengamen.

Begitu aku menatap wajah sang pengamen, jantungku serasa berhenti berdetak.

*Deg*

“Lusi,” sebuah nama terucap dari bibirku secara spontan.

Gadis itu pun berhenti memainkan biolanya. Dia mencoba mencari asal suara yang telah memanggil namanya. Matanya menjelajah setiap penonton satu persatu hingga akhirnya berhenti ketika bertumbukan dengan mataku. Dia menatapku tajam-tajam.

“Bram,” ujarnya seolah tak percaya. ”Oh, akhirnya aku menemukanmu.” Dia tersenyum dan kemudian melangkah mendekatiku.

“Kau benar-benar Lusi ?“ sahutku lagi dengan antusias seolah tak percaya dengan sosok yang ada dihadapanku.

Dia mengangguk.

Badanku tiba-tiba bergetar hebat. Dadaku membuncah. Sebuah letusan kegembiraan yang maha dahsyat seperti keluar dari dalamnya. Aku pun terkenang masa-masa sekolah yang indah dulu. Lusi adalah kekasihku semasa sekolah dulu. Aku sangat mencintai dia. Saat itu kami sering menghabiskan waktu bersama-sama. Bercanda di taman bunga, mendayung rakit di danau hingga mendaki gunung guna mencari beberapa kuntum edelweiss.

Tetapi entah mengapa tiba-tiba dia menghilang sesaat setelah pengumuman kelulusan tanpa ada yang mengetahui kemana dia pergi. Aku cari kerumahnya tetapi tetangganya mengatakan bahwa keluarga Lusi sudah pindah seminggu sebelumnya. Tidak ada yang mengetahui kemana mereka pergi karena mereka pergi dengan diam-diam. Aku terus berusaha mencarinya keseluruh pelosok kotaku tetapi tidak ada hasil. Aku benar-benar sangat frustasi saat itu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang telah dia lakukan.

Sejak saat itu keindahan hidupku serasa lenyap. Aku kehilangan seseorang yang telah menjadi bagian dari jiwaku. Aku pun terus mencari, mencari dan mencari. Tetapi semua tanpa hasil. Hingga akhirnya saat ini Tuhan mempertemukan kami kembali.

“Iya Bram, aku Lusi,” ujarnya membuyarkan kenanganku. Dia meletakkan biolanya di tempatnya yang sekarang sudah terisi dengan banyak uang.

Aku tidak kuasa untuk membendung perasaanku saat itu. Aku memeluknya dengan erat begitupun juga dia. Aku menangis dibahunya dan dia menangis dibahuku. Para Penonton juga ikut menangis. Mereka terbawa oleh suasana haru pertemuanku dengan Lusi.

“Aku yakin sekali Bram, aku akan menemukanmu di kota ini”, ujarnya.

“Mengapa dulu kau pergi ?”

“Sudah jangan bahas itu dulu. Ceritanya sangat panjang. Yang pasti aku sangat bahagia hari ini”

Kami berdua mengemasi perlengkapan biola Lusi dan kemudian aku ajak dia ke café tempatku beristirahat tadi. Aku sudah tidak peduli dengan jadwal istirahatku yang sebenarnya telah usai. Bagiku perjumpaanku dengan Lusi adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang tidak mungkin aku lewatkan.

“Darimana kau tahu kalau aku berada di kota ini ?”

“Tanpa sengaja aku membaca cerpenmu pada sobekan sebuah majalah yang diterbangkan oleh angin hingga tersangkut di pohon melatiku. Cerpenmu sangat bagus. Tetapi saat itu aku tidak tahu kalau kau penulis cerpen itu. Kemudian aku bawa sobekan itu dan menyuruh adikku membacanya. Kau tahu khan adikku sangat suka membaca. Nah kemudian adikku membaca sebuah nama di bawah judul cerpen itu. Dia menunjukkan nama itu kepadaku dan aku yakin itu nama kamu karena kau pernah bercerita bahwa hanya kau didunia ini yang mempunyai nama sejelek itu.”

Lusi tersenyum mengejekku. Aku cubit pipinya yang penuh dengan lelehan butiran air mata. Sebuah butiran air mata kebahagiaan.

“Saat itu aku yakin bahwa kau berada di kota ini karena kau pernah berkata padaku bahwa jika besar nanti kau ingin sekali menjadi seorang penulis dan bekerja di sebuah penerbitan majalah di kota ini”

Aku tersenyum. “Kau ternyata masih ingat cita-citaku”

“Kemudian aku minta izin pada orkestra tempatku selama ini bekerja untuk cuti dan mengamen di jalanan. Mereka ternyata tidak mengizinkanku mengamen di jalanan karena mereka menganggap hal itu akan merendahkan derajat pemain biola. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari orkestra”, lanjutnya.

“Lalu kenapa kau mengamen. Bukankah pendapatanmu sebagai pemain orkestra cukup besar”

“Untuk mencarimu. Aku tidak tahu kertas yang kubaca itu berasal dari majalah yang mana dan kantor penerbitan apa sehingga aku terpaksa mencarimu dengan cara mengamen berpindah-pindah dari kota ke kota. Dan aku selalu mencari tempat disekitar kantor majalah. Jika dalam waktu 3 hari aku tidak menemukanmu, aku berpindah ke kantor majalah yang lain. Aku sangat berharap suatu saat aku bisa menemukanmu. Dan setelah 3 bulan berjuang, akhirnya aku bisa menemukanmu”

“Ya kau menemukanku dan aku juga menemukanmu Lusi”

“Apakah kamu masih seperti Bram yang kukenal dulu ?”

“Ya, aku masih seperti Bram yang kaukenal dulu. Aku tetap sayang kamu”

Lusi memelukku dan mencium pipiku.

“Maafkan aku ya Bram, aku dulu meninggalkanmu”

“Kenapa Lus ? kenapa dulu kamu menghilang dariku”, tanyaku sambil memesan dua gelas teh hangat.

“Bapak dan Ibuku bertengkar, Bram. Kemudian bapak meninggalkan kami. Ibuku membawaku dan adikku pergi ke kota ini ke tempat orang tua ibuku. Peristiwa itu begitu cepat hingga aku tidak sempat menitipkan sebuah pesan kepadamu maupun kepada sekolah”

“Kenapa kau tidak coba menghubungi aku, sayang? Menelponku atau mengirim surat kepadaku ?”

“Aku malu pada teman-temanku, apalagi kepadamu. Keluargaku berantakan. Keluargaku hancur. Aku malu, Bram.”

Mata Lusi kembali memerah dan berkaca-kaca dan beberapa saat kemudian air mata telah meleleh membasahi pipinya. Aku seperti ikut merasakan kesedihan itu. Aku mencoba mengalihkan arah pembicaraan.

“Permainan biola kamu hebat juga. Belajar dari mana ?”

“Ibuku. Biola yang kubawa sekarang adalah warisan dari Ibuku. Setelah diajari dasar-dasar bermain biola oleh ibuku, aku memberanikan diri mendaftarkan sebagai pemain biola dan ternyata aku diterima. Dan dengan gajiku sebagai pemain biola, aku berhasil menghidupi keluargaku, Bram”

“Bagaimana kabar Ibumu”

“Beliau baik-baik saja. Beliau juga yang menyuruhku agar aku mencarimu, karena menurut beliau hanya kaulah yang dapat membuatku bahagia. Ibuku sangat sedih melihatku setiap hari murung. Kata Ibuku hidup serasa tanpa tujuan”

Saat itu aku betul-betul merasa sangat bahagia. Kekasihku yang telah 5 tahun menghilang akhirnya kembali.

“Akupun juga merasakan itu, Lusi. Hidupku selama 5 tahun ini serasa tanpa tujuan”, gumamku dalam hati.

Aku pegang erat tangan Lusi. Aku pegang sangat erat supaya dirinya tidak lepas lagi dari diriku. Siang hari yang panas itu menjadi sangat indah bagiku. Alunan musik klasik yang mengalun dalam café itu menambah suasana menjadi lebih indah.

“Kamu suka permainan biola?”, tanya Lusi.

“Dulu, aku tidak begitu suka. Tetapi sejak sering berkunjung ke café ini, aku menjadi suka musik klasik terutama pada biola. Alunannya musiknya bisa membuat hati begitu tenang,” ujarku.

Lusi berdiri sambil kemudian membuka tempat biolanya dan mengambil biola itu.

“Bram, bolehkah aku memainkan sebuah lagu buat kamu. Lagu yang kubuat khusus untuk seseorang yang aku sayangi.”

Aku tersenyum dan kemudian mengangguk.

Lusi mengambil biola dan memainkan sebuah lagu. Alunan melodi itu terdengar sangat merdu di telingaku hingga membuatku terhanyut menikmatinya. Aku menangkap sebuah ekspresi kegembiraan bercampur haru didalamnya.

Hari ini aku benar-benar sangat bahagia. Kekasihku yang pergi telah kembali. Dan aku berjanji dalam hati tidak akan membiarkannya pergi lagi untuk selamanya.

* Ditulis di Surabaya, Juni 2004. Waktu menulis cerpen ini lagi terkesan sama permainan biola. *

1 Comment:

RockySweety said...

keren banget bos. . .

wih . . .

 

Copyright(r) by wongkentir